
Citeureup kembali menjadi sorotan. Di simpang utama hingga jalan-jalan penghubung, deretan angkot yang ngetem sembarangan menjelma “terminal bayangan” dadakan. Badan jalan yang seharusnya lengang, mendadak menyempit. Klakson bersahut-sahutan, suara sopir menawarkan tumpangan menambah riuh, bercampur dengan keluhan penumpang dan makian pengendara yang terjebak.
Lalu lintas terpaksa merayap. Truk besar dari arah tol tertahan, sepeda motor saling serobot mencari celah di antara angkot yang parkir seenaknya.

Pejalan kaki pun harus ekstra hati-hati menyeberang, sebab trotoar tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, terhalang barisan angkot yang menjadikan bahu jalan sebagai tempat menunggu penumpang.
Warga sekitar menyebutnya “pusing tujuh keliling setiap hari.” Jam sibuk pagi dan sore adalah puncaknya. Anak sekolah terlambat, pekerja mengeluh terjebak, sementara para pedagang kecil di pinggir jalan ikut terganggu karena akses masuk pembeli tertutup rapat oleh deretan kendaraan.
Semrawut ini seolah sudah menjadi pemandangan rutin, menuntut kehadiran solusi nyata. Bagi warga Citeureup, terminal bayangan bukan sekadar soal angkot ngetem sembarangan—tetapi sebuah potret macet yang terus menggerus kenyamanan hidup mereka sehari-hari. (Firly)
Narasumber: R.Eddy. KS
